Banana for Mongkey

Banana for Mongkey
Banana for Mongkey

(Gagasan Wisata Pantai dan Peduli Satwa di Lemo-Lemo Bulukumba)

Keberadaan monyet di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan tampaknya mulai mendapatkan ruang untuk dieksplore sebagai satwa yang menarik untuk diberikan perhatian khusus oleh masyarakat, khususnya pemuda sebagai bagian dari suguhan wisata yang memang massif berkembang di wilayah tersebut.

Dari sumber tertulis ditemukan bahwa ada tujuh jenis monyet yang tersebar di pulau Sulawesi dan khusus di Sulawesi Selatan seperti Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros dan Pangkep, dan sebagian di antaranya ada di wilayah Kecamatan Bontobahari yakni species Macaca Maura. Dengan nama lokal Lesang (Pinrang), Ceba (Bugis) Dare (Makassar) dan Doeng (Konjo). Umumnya monyet ini memakan beberapa jenis serangga dan jamur.

Hutan di wilayah Bontobahari memang surga satwa, tentunya selain hutan di wilayah Kecamatan Rilau Ale, Kindang dan juga Kecamatan Kajang. Meski kian menyempit karena pemanfaatan ekonomi oleh masyarakat sebagai lahan pertanian, tampaknya masih ada harapan untuk melestarikannya.

Adalah Dedi Jalil dan Muhammad Amran Jabal yang merupakan pemuda di wilayah tersebut yang memunculkan gagasan Banana for Mongkey. Sejak lama, monyet di wilayah wisata Kampung Lemo-Lemo, monyet dan satwa lainnya hidup berdampingan dan harmonis dengan masyarakat. Namun, belakangan (2017) monyet-monyet tersebut mulai mengganggu ketentraman masyarakat sekitar. Mereka terkadang memanjati rumah warga untuk mencari makanan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh semakin sempitnya ruang monyet-monyet tersebut karena pembukaan dan pemanfaatan lahan oleh investor dan masyarakat lokal.

Dedi Jalil, sebagai koordinator percepatan pengembangan wisata Pantai Lemo-Lemo mengatakan bahwa dengan memadukan wisata pantai dan kepedulian pada satwa yang ada di hutan sekitar pantai tersebut dapat menjadi ruang alternatif untuk membangun kepedulian dan edukasi bagi masyarakat untuk mencintai satwa dan terlibat secara aktif untuk pelestariannya.
“Meski bukan hal mudah, gagasan Banana for Mongkey ini patut dicoba. Seperti di beberapa tempat wisata di Indonesia, monyet dijadikan sebagai salah satu unsur penarik wisatawan,” kata Dedi.

Sementara itu, Muhammad Amran Jabal mengatakan bahwa Monyet hanyalah salah satu satwa yang ada di kawasan hutan Kampung Lemo-Lemo. Ada banyak satwa lain yang disebutkannya dalam Bahasa Lokal (Konjo) seperti; Burung Takkocincing, Burung Puro, sejenis cicak terbang Keakeanging, berbagai jenis Tekukur, dan sebagainya.

“Ini akan menjadi tantangan tersendiri dalam melakukan indentifikasi dan pencatatan karena kurangnya pemahaman kami soal nama-nama satwa. Kami hanya mengenalnya dalam bahasa daerah,” papar Amran.

Amran menjelaskan juga bahwa jenis monyet atau Kera di hutan-hutan Bontobahari, termasuk lemo-lemo sangat beragam jenisnya. Ada yang berwarna hitam, ada yang berekor dan tidak berekor dan ada juga yang berwarna putih. Namun, namanya dalam bahasa Indonesia dan bahasa ilmiahnya tidak diketahuinya. Olehnya Amran berharap akan ada penelitian lebih lanjut dari semua pihak yang peduli untuk melakukan pengidentifikasian dan pencatatan atas satwa-satwa tersebut secara baik.

Amran menambahkan bahwa dari berbagai sumebr informasi disebutkan bahwa ada banyak restoran yang menyuguhkan daging monyet sebagai makanan. Ini tentu membangun persepsi dan dugaan bahwa jangan sampai selama ini monyet-monyet tersebut telah menjadi hewan buruan tanpa disadari oleh masyarakat sekitar dan dagingnya diperjualbelikan. Apalagi, sering ditemui orang yang membawa senjata berburu merambah hutan di Bontobahari. “Sejauh ini belum ada regulasi khusus dari pemerintah tentang perlindungan satwa ini di Bulukumba. Padahal, sudah ada fakta bahwa Rusa sudah punah di wilayah ini. Rusa kerap dijumpai masyarakat pada akhir tahun 1990an, sayangnya kini tidak pernah dijumpai lagi seekor pun di kawasan hutan,” jelasnya.

Dedi Jalil menambahkan bahwa Banana for Mongkey ini hanya langkah awal dalam gerakan pelestarian satwa di Bulukumba. Dirinya berharap bahwa di masa datang, wisatawan yang datang ke kawasan pantai ini akan membawa atau membeli pisang dari masyarakat untuk diberikan kepada monyet yang ada. Tentunya hal tersebut dapat menjadi hal baik bagi petani yang ada di Bulukumba. “Sejauh ini, untuk membentengi satwa dan mempertahankan kelestarian alam, kami akan membuat peraturan adat atau peraturan desa dan juga kami akan membuat reklame tentang larangan berburu, menebang pohon, merusak karang dan membangun secara liar, dan juga hal-hal yang berbau negatif seperti penjualan alkohol dan prostitusi di tempat wisata.” Tutupnya.