Buhung Toayya, Sumur Legendaris di Tanah Kering Lamanda, Bulukumba

Radhy S Asmar bersama anak-anak di depan Rumah Baca Lamanda Peduli
Radhy S Asmar bersama anak-anak di depan Rumah Baca Lamanda Peduli
Lamanda adalah sebuah nama kampung di Kecamatan Bontotiro, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Awalnya hanyalah sebuah dusun kecil dari Desa Caramming. Akan tetapi pada tahun 2011, Lamanda menjadi desa sendiri dengan nama Desa Lamanda.

Di desa Lamanda, ada sebuah sumur yang sangat legendaris. Namanya Buhung Toayya (Sumur tua) di sekitar Masjid Desa Lamanda yang bernama Masjid AL Muhajirin, yang diperkirakan digali oleh masyarakat secara gotong royong selama berbulan-bulan pada tahun 1960-an. Sumur ini cukup lama digali disebabkan struktur tanah Lamanda yang sangat keras sebab terdiri atas batu-batu karang dan batu kapur. Inilah satu-satunya sumur yang ada di kampung tersebut hingga tahun 1980-an, sehingga hampir tidak pernah sepi dari masyarakat yang menimba air, kecuali di musim kemarau, biasanya sumur ini menjadi kering sehingga orang harus menunggu tetesan air hingga larut malam.

Sebelum sumur itu ada, masyarakat kampung Lamanda sangat sulit mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Tak jarang, banyak anak sekolah yang harus berhemat air saat mandi sebelum beraktifitas pagi, termasuk ke sekolah, seperti yang dituturkan oleh seorang pemuda asal Kampung tersebut, Radhy S Asmar.


Karena sumur hanya satu di masa itu, sumur ini kemudian menjadi sentra pertukaran informasi kampung dan juga sentra silaturahmi. Semua orang Lamanda, pasti pernah ke sumur tersebut untuk mendapatkan air bersih. Bahkan, karena menjadi sentra pertemuan, sumur ini juga dikenal dengan sumur jodoh.

Salah satu kisah yang paling romantis di sumur ini yang dituturkan oleh Radhy adalah, banyak pemuda yang senang berlama-lama di sumur ini untuk sekedar membantu gadis-gadis untuk menimba air yang memang sangat dalam ini (belasan meter), dengan timba karet yang dibuat khusus. Tak jarang, saat menimba air, air yang sampai ke permukaan hanya sisa segelas karena tumpah ruah saat diangkat ke atas. Saat memberi jasa timba air inilah, pemuda-pemudfa Lamanda melirik atau berjuang memikat hati pujaannya. Di sumur inilah banyak cinta yang bersemi dan bahkan menjadi pintu jodoh bagi pemuda-pemudi Lamanda.


Sebelum sumur ini ada, masyarakat kampung Lamanda, biasanya mengangkut air dari desa tetangga dengan kuda yang jaraknya cukup jauh, berkilo-kilometer. Salah satunya adalah sumur di Desa Buhung Bundang yang dikenal dengan nama Runruling. Jadi tidak heran kalau hampir di setiap rumah masyarakat lamanda ada kolam air untuk tadah air hujan sebagai tempat penampungan air hujan sebagai persediaan untuk kebutuhan ternak sapi dan untuk mencuci pakaian karena air sumur kala itu hanya diprioritaskan untuk kebutuhan dapur.

Pada tahun 1980-an digali lagi sebuah sumur di daerah Pangkana (masih diwilayah Kampung Lamanda) dan tahun 2000-an, Buhung Toayya mulai agak berkurang setelah digalinya sumur baru di Desa Lamanda dan telah banyak warga yang menggunakan mesin air untuk memompa air ke rumah-rumah mereka. (Radhy).